Heboh Isu Ijazah dan Skripsi Jokowi Palsu, UGM Buka Kebenaran Sesungguhnya

tisubodas
By -
0

- Isu tentang asli atau tidaknya Ijazah Presiden Republik Indonesia yang ketujuh, Joko Widodo, muncul lagi mendekati masa politik. Topik ini menjadi sorotan besar dalam diskusi daring, terutama pada platform X (dulu disebut Twitter) usai beberapa pengguna internet menantang validitas ijazah Jokowi dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Apakah benar ijazah Jokowi tidak asli? Inilah beberapa fakta yang sudah di pastikan oleh sejumlah pihak terkait.

Awal Mula Tuduhan

Debattu dimulai dari postingan di akun X oleh @tija** yang menampilkan kutipan dari pakar keamanan digital Rismon Hasiholan Sianipar. Menurut Rismon dalam unggahan itu, ia menyatakan bahwa ijazah Jokowi palsu karena menggunakan jenis huruf Times New Roman yang diyakini baru ada setelah tahun peluncuran dokumen tersebut yaitu 1985.

"Ijazah Sarjana dalam bidang Kehutanan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang dikeluarkan oleh UGM tahun 1985, dianggap palsu," kata Rismon.

Pendukung dari pernyataan ini di media sosial menyebutkan bahwa Times New Roman hanya mulai banyak digunakan setelah kemunculannya dalam sistem operasi Windows 3.1 pada tahun 1992. Karena alasan itu, mereka meragukan keabsahan penggunaan font tersebut dalam dokumen formal pada tahun 1985.

Akan tetapi, menurut catatan historis, Times New Roman awalnya diperkenalkan oleh koran Inggris, The Times, sebelum akhirnya ditetapkan sebagai bagian dari produk Windows oleh Microsoft pada tahun 1992. Ini mengindikasikan bahwa font tersebut telah tersedia jauh sebelum tahun itu, walaupun tidak begitu populer dalam lingkungan digital saat itu.

Penjelasan UGM

Merespon rumor yang berkembangan, UGM melalui dekannya di Fakultas Kehutanan, Sigit Sunarta, mengklarifikasi bahwa pernyataan dari Rismon bersifat menyesatkan. Dia merasa kecewa karena ada pihak yang merupakan bagian dari komunitas akademik melakukan tuduhan tanpa didukung oleh riset yang memadai.

" Kami amat berduka karena pesan keliru yang disebarkan oleh salah satu dosen yang semestinya dapat membimbing dan mengedukasi publik melalui pengetahuan yang berguna," kata Sigit di area kampus UGM, seperti dilaporkan Kompas.com, pada hari Jumat, 21 Maret 2025.

Sigit menyatakan bahwa untuk membandingkan jenis huruf yang dipakai dalam ijazah, perlu dibandingkan dengan dokumen-dokumen dari mahasiswa lain yang wisuda pada tahun bersamaan. Dia pun melanjutkan bahwa ragam huruf tersebut telah umumnya diterapkan oleh beberapa percetakan di dekat kampus UGM waktu itu.

"Di area seputar kampus UGM pada waktu itu telah terdapat beberapa percetakan seperti Prima dan Sanur yang menawarkan layanan pembuatan cover skripsi," jelasnya.

Selanjutnya, dia menyatakan bahwa dokumen persetujuan skripsi Jokowi benar-benar dicetak di perusahaan cetak, sedangkan kontennya yang mencakup 91 halaman masih mengacu pada teks yang ditulis dengan mesin tik.

"Begitu banyak tugas akhir siswa yang mengunakan cover serta halaman pengesahan dari printer," jelasnya.

Nomor Seri Ijazah Presiden Joko Widodo Pun Dicurigai

Di luar masalah huruf jenis, pengguna media sosial juga mengkritisi nomor serinya ijazah Jokowi yang dinilai tak sejalan dengan standar UGM. Merespons perkara tersebut, Sigit menyatakan bahwa pada periode tertentu, Fakultas Kehutanan menggunakan metode penomeran khususnya sendiri.

"Angka tersebut mengikuti urutan nomor induk mahasiswa yang diterima lalu diikuti oleh kode FKT, yang merupakan akronim untuk nama fakultas," terangnya.

Dia menggarisbawahi bahwa tudingan Rismon tak memiliki dasar dan bisa membawa kerugian kepada sejumlah kelompok, khususnya lembaga pendidikan.

"Harus dipahami bahwa ijazah dan skripsi milik Joko Widodo merupakan yang resmi. Dia pernah berkuliah di institusi ini, seorang teman satu angkatannya sangat mengenali dia dengan baik, ia juga aktif dalam kegiatan mahasiswa (Silvagama). Selain itu, catatan menunjukkan bahwa dia telah menjalani banyak program studi, menyusun skripsinya, sehingga ijazahnya diberikan kepada dirinya oleh UGM secara legal," jelasnya.

Tuduhan Pemalsuan Tidak Berdasar

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Marcus Priyo Gunarto, juga ikut berkomentar tentang tuduhan tersebut. Dia menyatakan bahawa menurut undang-undang kejahatan, ada dua jenis penipuan dokumen: menciptakan dokumen yang palsu serta merubah dokumen asli menjadi palsu. Namun demikian, pada kasus ini belum ditemukan bukti bahwa ijazah atau tesis Joko Widodo merupakan produk dari aktivitas pemalsuan.

"Bila terdapat tudingan yang menyatakan Joko Widodo telah merusak ijazahnya, maka seharusnya ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa dia benar-benar belum pernah belajar di Universitas Gadjah Mada, tak pernah mengumpulkan karya akhirnya, atau tak pernah menerima gelar dengan cara yang resmi," katanya seperti dilansir Tribun Kaltim.

Marcus mengatakan bahwa dengan tidak memiliki bukti saat menuding seseorang dapat membawa akibat hukum terhadap orang yang menyebarkan kabar bohong tersebut.

"Bila tudingan tersebut tak bisa dibuktikan, maka orang yang menyebar berita bohong itu mungkin akan menghadapi konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)," katanya.

UGM dengan jelas mengungkapkan penyesalan atas pernyataan tanpa dasar yang berkembang. Mereka memastikan bahwa seluruh catatan pendidikan Jokowi disimpan dengan aman dan bisa diperiksa kebenarannya.

"Tudingan bahawa UGM memberikan perlindungan atau bertindak seperti halnya demi keuntungan semata kepada Joko Widodo adalah keliru besar dan terburu-buru," kata Marcus Priyo Gunarto.

UGM juga menggarisbawahi bahwa menyatakan tuduhan berdasar saja pada analisis tipografi tanpa membandingkannya dengan dokumen lain merupakan hasil yang tak ilmiah dan bisa menyesatkam.

Menurut beberapa keterangan dari pihak UGM, tudingan bahwa ijazah Jokowi adalah palsu tidak memiliki landasan yang kuat. Masalah ini timbul terutama disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang sistim pendidikan saat itu dan juga penyebaran data tanpa adanya verifikasi sebelumnya.

Maka dari itu, diharapkan masyarakat akan lebih waspada saat membagikan data yang belum diketahui keakuratannya, terlebih jika hal tersebut menyangkut arsip resmi atau nama baik individu. Kasus ini sekali lagi menggarisbawahi betapa esensialnya pengetahuan tentang teknologi digital untuk menjauhkan diri dari provokasi akibat kabar-kabar yang belum pasti kebenarannya.

(*)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)