
JAKARTA, Polemik seputar royalti serta lisensi di kalangan penyanyi dan penulis lirik lagu kini berkembang menjadi gugatan sesuai dengan UU HAKI No. 28 Tahun 2014.
Perselisihan mengenai lisensi dan royalti di antara penulis lagu dan artis penyanyinya memang kerap kali menjadi perbincangan.
Pada tahun 2023 lalu, sang pemimpin dari grup musik Dewa 19, yaitu Ahmad Dhani pernah menghalangi mantan vokalistnya, Once Mekel untuk bernyanyi menggunakan lagunya sendiri.
Yang terakhir dan cukup terkenal adalah Agnez Monica (Agnez Mo), yang digugat sebesar Rp 1,5 miliar lantaran membawakan lagu milik Aris Bias.
Kekecewaan ini menyebabkan 29 artis musik dari Indonesia marah, dan mereka menantang Undang-Undang Hak Cipta di Pengadilan Konstitusi dengan beberapa poin pengajuannya.
Berikut adalah para musisi yang dimaksud: Tubagus Arman Maulana (Armand Maulana), Nazril Irham (Ariel NOAH), Vina DSP Harrijanto Joedo (Vina Panduwinata), dan Dwi Jayati (Titi DJ).
Selanjutnya terdapat Judika Nalom Abadi Sihotang, Bunga Citra Lestari (BCL), Sri Rosa Roslaina H (Rossa), Raisa Andriana, Nadin Amizah, Bernadya Ribka Jayakusuma, Anindyo Baskoro (Nino), Oxavia Aldiano (Vidi Aldiano), dan Afgansyah Reza (Afgan).
Selanjutnya adalah Ruth Waworuntu Sahanaya, Wahyu Setyaning Budi Trenggono yang dikenal sebagai Yuni Shara, Andi Fadly Arifuddin atau biasa disebut Fadly dari grup Padi, Ahmad Z Ikang Fawzi sering dipanggil Ikang Fawzi, Andini Aisyah Hariadi lebih dikenali dengan nama Andien, Dewi Yuliarti Ningsih populer sebagai Dewi Gita, dan Hedi Suleiman terkenal dengan panggilan Hedi Yunus.
Sembilan nama terakhir yang disebutkan adalah Mario Ginanjar, Teddy Adhytia Hamzah, David Bayu Danang Joyo, Tantri Syalindri Ichlasari (Tantri Kotak), Hatna Danarda (Arda), Ghea Indrawari, Rendy Pandugo, Gamaliel Krisatya, dan Mentari Gantina Putri (Mentari Novel).
Bayar royalti
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor 33/PUU-PAN.MK/AP3/03/2025 yang diajukan pada tanggal 12 Maret 2025 mencakup lima poin penutup.
Pertama, mereka mengharapkan agar Pasal 9 Ayat 3 Undang-Undang Hak Cipta diatur ulang menjadi sesuai dengan undang-undang dasar, sehingga menggunakan hasil karya secara komersial dalam sebuah pementasan dapat dilakukan tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari sang pembuat atau pemilik hak cipta, namun masih harus memberikan royalti sebagai bentuk upah atas penggunaannya yang bersifat komersial.
Pesan kedua yang disampaikan oleh Ariel dan kawan-kawannya menyarankan bahwa Pasal 23 Ayat 5 Undang-Undang HAKI tentang "setiap orang" dapat diartikan juga meliputi badan hukum sebagai pengorganisir suatu pertunjukan, dengan pengecualian jika ada kesepakatan lain antar pihak-pihak terlibat berkaitan dengan aturan pembayaran hak cipta.
Permohonan ini juga memastikan bahwa pembayaran royalti dapat diselenggarakan sebelum maupun setelah penggunaan komersial karya dalam sebuah pertunjukan.
Permintaan ketiga ini mengharuskan MK menafsirkan Pasal 81 Undang-Undang Hak Cipta agar berarti karya terlaris yang dipergunakan dalam acara pertunjukan komersial dapat dilakukan tanpa izin langsung dari sang pengarang, tetapi harus memberikan royalti kepada mereka melalui badan manajemen kolektif.
Keempat, Ariel dan kawan-kawannya mengharapkan agar Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 87 Ayat 1 Undang-Undang tentang Hak Cipta sebagai tidak konstitusional selama aturan tersebut diartikan bahwa pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait tidak menggunakan cara-cara alternatif untuk mendapatkan royalti dengan metode yang bukan kolektif atau bersifat diskriminatoris.
Akhirnya, mengharapkan ketentuan huruf f Pasal 113 Ayat 2 Undang-Undang HAKI bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum.
Ketakutan para musisi...
Ariel dan kawan-kawannya menjelaskan berbagai macam tuntutan hukum yang terjadi di antara penulis lagu dan artis. Sebagai contoh, grup musik The Groove melarang menyuarakan lagu-lagu buatan Rieka Roeslan.
Sebenarnya Rieka Rueslan merupakan seorang mantan anggota band The Groove. Setelah pergi dari grup itu, Rieka memutuskan untuk melarang lagu-lagunya dipentaskan oleh The Groove lagi.
Kedua, Doadobadai Hollo (Badai), yang melarang Sammy Simorangkir untuk bernyanyi lagu buatan Grup Band Kerispatih. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Sammy mengeksekusi lagunya tanpa mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Badai.
Penyebab ketiganya adalah gugatan terhadap Agnes Monica oleh Ari Bias yang mengharuskannya untuk membayar kompensasi senilai Rp 1,5 miliar.
Akhirnya terjadi perseteruan antara Once Mekel dan Ahmad Dhani yang menghasilkan pelarangan bagi Once Mekel untuk bernyanyi lagu-lagu dari grup band Dewa 19.
Musisi-musisi yang telah mendakwa Undang-Undang HAK CIPTA ini merasa bahwa kasus seperti itu mungkin juga akan dihadapi oleh para kolega mereka.
Mereka menganggap bahwa terdapat beberapa pasal yang dipergunakan dalam konteks perselisihan dan memberikan ruang untuk interpretasi yang bervariasi, akibatnya menciptakan ketidakjelasan hukum.
"Kegelisahan para pemohon yang disebabkan oleh berbagai masalah hukum yang timbul, tentunya bukan saja menciptakan kebingungan melainkan juga rasa takut di kalangan para pemohon," demikian tertulis dalam gugatan tersebut.
Kekabutan aturan yang dialami berkisar pada proses mendapatkan persetujuan serta pembayaran hak cipta, entah itu sebagai artis atau penulis liriklagu.
Pemohon merasa kurang jelas apakah mereka perlu meminta izin secara langsung atau cukup menggunakan prosedur LMKN.
"Dengan demikian, diketahui bahwa pembagian izin oleh pencipta dilakukan secara subyektif berdasarkan preferensi personal (suka dan tidak suka), serta tidak seluruh penampil memiliki hubungan dekat atau pun kesempatan untuk mengajukan persetujuan langsung kepada pencipta," tambahnya.
Di samping itu, pihak pemohon menganggap ada kemungkinan timbulnya bebannya secara tidak proporsional baik administratif maupun keuangan bagi artis akibat ketidaktentuan tentang siapa yang harus bertanggung jawab untuk pembayaran royalty, entah itu sang musisi atau penyelenggarac acaranya.