Alarm Jatuhnya IHSG: Ahli Ekonomi Bahas, Apakah Krisis Ekonomi 1998 Segera Kembali?

tisubodas
By -
0

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mendapat tekanan sepanjang tahun ini, menimbulkan ketakutan di antara para pemain pasar dan investor. Mulai dari awal 2025, IHSG sudah merosot dengan drastis, hingga menjadi salah satu yang memiliki penurunan paling tajam di kawasan Asia.

Pada hari Jumat tanggal 21 Maret, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan sebesar 1,94% hingga mencapai angka 6.258,18, sehingga total koreksinya dari awal tahun menjadi 11,61%. Situasi ini semakin memburuk karena adanya laporan Departemen Keuangan tentang defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama dua bulan beruntun.

Di bulan Februari 2025, defisit Anggaran Pendanaan Negara (APBN) tercatat senilai Rp31,2 triliun atau setara dengan 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang mana hal tersebut menandakan adanya defisit untuk periode awal tahun pertama sejak tahun 2021 ketika pandemi Covid-19 masih berlangsung. Kondisi ini mengakibatkan kekhawatiran di kalangan pasar dan menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh sampai 6,12%, merosot hingga ke angka 6.076,08 pada sesi dagang perdana hari Selasa tanggal 18 Maret.

Bursa Efek Indonesia (BEI) juga telah menerapkan penangguhan perdagangan sementara, yaitu tindakan terakhir yang diambil selama pandemik Covid-19. Situasi tersebut memunculkan pertanyaan: Apakah Indonesia berpotensi menghadapi krisis ekonomi seperti pada tahun 1998?

  • Lebaran 2025, Kebutuhan LPG Subsidi di Wilayah Selatan Sumatera Diperkirakan Meningkat 11%
  • Bank Danamon (BDMN) Membagikan Dividen Sebesar Rp 1,1 Triliun, Setara dengan Rp 113,8 per Lembar Saham
  • Kronologi Kebakaran Bus pada Grup Umroh Warga Negara Indonesia: 20 Orang Tewas, Berikut Daftar korban Meninggal

Menghadapi situasi ekonomi saat ini, beberapa ahli ekonomi percaya bahwa Indonesia memiliki potensi untuk pulih kembali. Kepastian tentang kestabilan ekonomi lokal ini pun menjadi topik bahasan di Podcost Mantan Ekonom Bicara: Jatuhnya Pasar dan Phantasmagoria Krisis Keuangan 1998 yang dikuti oleh Pemimpin Redaksi Yura Syahrul beberapa waktu yang lalu.

Dalam podcast tersebut disebutkan beberapa petunjuk yang mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia saat ini lebih stabil daripada masa-masa krisis sebelumnya. Misalnya, di tahun 1998, tingkat hutang luar negeri baik dari pihak pemerintah maupun swasta terhadap stok valuta asing mencapai angka 8,6 kali lipat. Namun, pada tahun 2008, rasionya telah merosot ke 2,97 kali, serta hingga bulan Januari 2025 semakin menurun lagi menjadi 2,56 kali.

Gundy Cahyadi, ekonom dan anggota tim ahli dari Pusat Sight Center, menyebutkan bahwa cadangan devisa Indonesia kini jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan akhir tahun 1997 di mana jumlahnya hanya mencapai US$17,4 miliar atau cukup untuk membiayai impor selama 4,5 bulan. Sementara itu, hingga Februari 2025, cadangan devisa telah meningkat menjadi US$154,5 miliar, yang berarti dapat menutrisi kebutuhan impor dalam waktu 6,6 bulan.

Secara finansial, tingkat hutang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 39,6% per Januari 2025. Angka tersebut lebih rendah daripada 57,7% yang dicatat pada tahun 1998 dan 85,4% pada tahun 1999.

"Dalam hal rasio utang terhadap PDB, tetap berada di sekitar 40%. Ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan patokan global," ungkap Gundi seperti dilansir pada hari Sabtu (22/3).

Gundi mengatakan bahwa stabilitas juga tampak di sektor perbankan. Rasio pinjaman bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) bruto mencapai puncaknya dengan angka 48,6% pada tahun 1998. Sementara itu, untuk bulan Januari 2025, rasionya turun menjadi hanya 2,18%.

Kepala Ekonomi dari Permata Bank, Josua Pardede, menyuarakan pandangan yang sebanding. Menurutnya, tingkat suku bunga untuk transaksi perbankan antara bank-bank lain (PUAB) dalam periode semalam juga masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 1998, saat itu sempat meninggi hingga mencapai angka 63,16 persen. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pada bulan Maret tahun 2025, suku bunganya telah turun menjadi sekitar 5,72 persen.

"Oleh karena itu, apabila dibandingkan dengan tahun 1998 dan 2008, situasi perekonomian dalam negeri sekarang lebih tangguh untuk menghadapi ancaman krisis di masa depan," kata Josua.

Pada saat yang sama, ahli ekonomi dan Staf Khusus Menteri Keuangan untuk tahun 2020-2024, Masyita Crystallin, menganggap bahwa ancaman penarikan investasi asing menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia masih rendah. Ini karena pasar saham Indonesia sudah kurang bergantung pada modal dari investor asing dibandingkan dengan periode sebelumnya.

"Saya khawatir krisis bisa menyebar karena penurunan kepemilikan asing, entah itu dalam bentuk ekuiti atau pendapatan tetap, telah berkurang dibanding masa lalu. Akibatnya, volatilitas yang disebabkan oleh pergerakan masuk-keluar modal asing tidak sehebat lima tahun silam. Meskipun begitu, untuk meningkatkan investasi, kami masih membutuhkan aliran modal dari luar," ungkap Masyita.

Selama enam bulan belakangan, penjualan bersih dari para investor asing telah mencapai angka Rp 45 triliun, dengan jumlah Rp 30 triliun terjadi sejak awal tahun 2025. Penurunan bursa saham tersebut merupakan indikasi perlambatan ekonomi yang perlu dipantau ketat baik oleh pemain pasar maupun otoritas pengawas.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)