Dampak Keberadaan Garuda Indonesia Terhadap Maskapai Nasional

tisubodas
By -
0

Seperti yang sudah saya bahas pekan kemarin dalam artikel tersebut, Indonesia Airlines (IA) merupakan sebuah perusahaan penerbangan asing yang terdaftar atau memiliki izin operasi di Singapura, mirip dengan Singapore Airlines, Jetstar Asia Airways, Scoot, serta Silk Air. Perusahaan ini mengoperasikan pesawat mereka dengan kode 9V. Dari segi regulasi, karena bersifat maskapai internasional, tindakan IA tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang ditetapkan di tanah airnya sendiri.

Pengelola IA yaitu Calypte Holding Pte. Ltd berencana untuk mengoperasikan penerbangan internasional dari Bandara Soekarno Hatta (CGK), serta bandar-bandara internasional lainnya di Indonesia tanpa menyalahi prinsip-prinsip tersebut. cabotage seperti yang dikhawatirkan sebagian besar orang.

Kami harus mengetahui hal ini tanpa melanggar prinsip-prinsipnya. cabotage hukum, IA sebagai perusahaan penerbangan luar negeri diberikan kebebasan untuk terbang di ruang udara Indonesia sambil memakai hak angkutnya. Right Entitlement Izin tersebut dimiliki oleh Singapura dan dicatatkan secara formal. Bilateral Air Service Agreement (BASA) di antara Singapura (atau negara lain) bersama Indonesia atau pun melaluinya Multilateral Air Service Agreement (MASA) terjadi antar negara ASEAN berkat kebijakan ASEAN Open Sky.

Artinya, maskapai penerbangan di Indonesia seperti Grup Garuda Indonesia, Grup Lion Air, Transnusa, Sriwijaya, NAM, serta beberapa lainnya mungkin akan menghadapi persaingan lebih ketat. Jika pasar dalam negeri semakin berkembang menuju skala internasional, misalnya pada layanan haji dan umrah, hal tersebut dapat meredup dengan cepat apabila maskapai dari negara-negara anggota ASEAN memanfaatkan Perjanjian Langit Terbuka ASEAN yang sudah mulai berlaku secara formal di semua negara anggota ASEAN sejak tahun 2015.

Apa kabar masa depan sektor perpenerbangan di Indonesia, yang sampai saat ini masih tanpa aturan atau strategi jangka panjang? Sebuah industri dalam negeri yang belum menerapkan transformasi. roadmap Yang paling penting, bukankah hal ini berkaitan dengan kebijakan tiket murah yang didasari oleh motif politik, bukan ekonomi, serta melanggar aturan yang sudah ditentukan?

Perkembangan Transportasi Udara di Indonesia Masa Mendatang

Kebijakan ASEAN Open Sky yang diperjuangkan oleh Malaysia dan Singapura bertujuan untuk mendorong keterbukaan ruang udara antar negara-negara anggota ASEAN dengan meningkatkan kolaborasi dalam industri penerbangan. Akan tetapi, implementasi dari kebijakan tersebut justru memberi dampak negatif bagi Indonesia sementara itu menguntungkan negara-negara ASEAN lainnya yang memiliki jumlah bandara internasional lebih sedikit.

Kehadiran IA menjadi tantangan besar bagi industri penerbangan nasional. Hal tersebut disebabkan oleh kurang kuatnya peran otoritas pengawas Indonesia, yakni Kementerian Perhubungan, dalam menangani persoalan kebijakan ASEAN Open Sky pada masa kira-kira tahun 2007. Pada saat itu, operasional maskapai Indonesia sedang menghadapi berbagai kesulitan seperti adanya pembatasan penerbangan dari Uni Eropa serta sering terjadi insiden kecelakaan angkutan udara di tanah air.

Malaysia dan Singapura memajukan Kebijakan Langit Terbuka Asean untuk meningkatkan cakupan maskapai mereka dalam mengambil kesempatan pada penumpang serta barang-barang dari Indonesia. Ironisnya, saat itu pihak berwenang di Indonesia belum sadar akan upaya menyesatkannya.

Pada saat bernegosiasi, Ditjen Perhubungan Udara Indonesia tampaknya kurang bisa merumuskan strategi dengan perspektif nasional, tetapi lebih condong ke arah sektor saja. Para perwakilan kita sudah cukup lama didiskusikan dan ditekan oleh otoritas penerbangan negara-negara ASEAN lainnya, khususnya dari kedua negara tersebut.

Misalnya saja, mereka mengharapkan agar kelima bandara internasional di Indonesia dimasukkan ke dalam perjanjian tersebut, yakni Bandara Soekarno Hatta, Bandara Juanda, Bandara Kualanamu, Bandara Sultan Hasanuddin, serta Bandara Ngurah Rai—yang menjadi bandara tersibuk, paling strategis, dan memiliki lokasi penting di seluruh wilayah Indonesia.

Sebaliknya, Indonesia hanya mendapatkan Bandara Internasional Changi yang terletak di Singapura; sedangkan Malaysia memiliki Bandara Internasional Kuala Lumpur beserta delapan bandar udara internasional lebih kecil lagi. Ini jauh berbeda dibandingkan dengan lima bandara utama yang ada di Indonesia saat itu.

Namun demikian adalah takdir dari sektor penerbangan di Indonesia pada masa kini. Sektor tersebut tenggelam, ditambah lagi oleh persaingan harga tiket yang sangat rendah mengurangi pendapatan bandaranya (PJP2U dan PJP4U) sampai 50%. high season lebaran.

Kembali ke topik tentang IA, setelah diskusi mendalam namun santai bersama sejumlah pakar kebijakan transportasi udara yang pernah bertugas sebagai otoritas pengawas serta beberapa mantan kepala representatif Garuda Indonesia di luar negeri, mereka menyebutkan bahwa bagi maskapai Singapura untuk bisa mengeksploitasi penumpang dan kargo dari Indonesia, hak-hak seperti Right 3 dan Right 4 sudah mencukupi.

Dengan keduanya, IA telah bebas menerapkan Hak 6 (yang merupakan gabungan dari Hak 3 dengan Hak 3 sehingga memungkinkannya terbang ke negeri lain lagi via Hub yang ada di Singapura). Ini telah berlangsung cukup lama oleh maskapai Singapura tanpa otoritas pengawas Indonesia protes atau menginginkan pembicaraan ulang. Cermat bukan?

Right atau hanya disebut Freedom dalam industri penerbangan, merupakan hak yang diberikan kepada maskapai untuk menjalankan operasi penerbangannya (termasuk mengangkut penumpang dan kargo) di sebuah negara tertentu atau daerah. Singapura dapat dengan lancar mengerjakan penerbangan dari berbagai bandara internasional di Indonesia dengan memakai aturan Right 7 (sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya).

Dari Indonesia menuju berbagai negara lainnya, misalkan dengan rute IA, tak perlu melakukan penerbangan internasional melewati pusat operasi di Singapura. Akan tetapi, Hak 7 ini jarang dimanfaatkan oleh maskapai asal Singapura sebab kurang diminati oleh para penumpang serta pengirim barang. Oleh karenanya, akan lebih efektif jika menerbangkan langsung dari Singapura yang mengambil penumpang dan muatan dari bandara-bandara di Indonesia memakai Hak 6 tadi, sehingga menjadi solusi yang lebih hemat biaya.

Selanjutnya merujuk kepada perjanjian antara BASA dan MASA, IA telah siap untuk terbang di rute internasional masuk/keluar dari Indonesia sesuai dengan hak angkut yang dimilikinya. Tentunya harus menyelesaikan beberapa ketentuan berikut ini: Pertama, mematuhi syarat-syarat perusahaan penerbangan oleh pemerintah Singapura. Kedua, melengkapi semua persyaratan dalam operasi rute internasional sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.

  1. IA diangkat menjadi entitas resmi yang dikenali oleh pemerintah Singapura sebagai designated carrier ke Indonesia

  2. IA memiliki serta mendaftarkan Kedutaan Besarnya di Indonesia.

  3. IA membuat Foreign AOC (CASR Bagian 129) untuk (Indonesia)

  4. IA menyerahkan AOSP ( Air Operator Security Program ) ke pemerintah Indonesia

  5. IA mem- filling tarif ke pemerintah Indonesia

  6. IA mengurus dan mendapatkan slot dari pemerintah Indonesia yang diwakili oleh IASM ( Indonesia Airport Slot Management ).

  7. IA Menyelenggarakan proses pengurusan izin rute ke pihak berwenang di Indonesia

Dengan menyelesaikan seluruh ketentuan yang disebutkan di atas, maka IA dinyatakan resmi dan sah untuk terbang pada rute internasional ke atau dari bandaranya internasional di Indonesia, seperti halnya Bandara CGK.

Sebuah contoh lagi, Etihad Airways (EY) telah menyatakan bahwa mereka akan memulai penerbangan langsung dari Kualanamu menuju Abu Dhabi dimulai pada tanggal 3 Oktober 2025. Hal ini diharapkan dapat menarik jamaah umroh dan haji dari Sumatera Utara serta Aceh untuk pergi ke Tanah Suci melalui Abu Dhabi dengan biaya tiket yang lebih rendah dikarenakan EY tidak termasuk dalam kategori maskapai domestik sehingga bebas dari beberapa jenis pajak. Akhirnya, nasib Garuda Indonesia pun ditentukan.

Langkah Pemerintah

Akibat dari hal tersebut, negosiator Indonesia saat itu (Direktur Jenderal Perhubungan Darat), membuat industri penerbangan nasional semakin tersendat. Bukan hanya Garuda Indonesia Group saja yang menghadapi kesulitan, melainkan juga perusahaan penerbangan dalam negeri lainnya, termasuk Lion Air Grup, sebab lawannya adalah maskapai asing dengan armada besar bertaraf istana. Maskapai-maskapai ini siap mengeksploitasi pasar luas seperti jamaah haji dan umrah serta wisatawan lokal yang ingin mendapatkan layanan premium ketika bepergian ke mancanegara.

Pendapat saya, alokasi waktu terbang yang diberikan IASM kepada maskapai asing perlu ditata untuk mencegah penambahan kesulitan bagi maskapai dalam negeri. Sebagai contoh, jangan memberikan izin terbang IA pada periode waktu emas. Selain itu, di forum pertemuan ASEAN, Indonesia harus proaktif menyarakan modifikasi atau penyempurnaan isi dari ASEAN Open Sky karena telah beroperasi selama sepuluh (10) tahun sejak dimulai pada 2015 agar dapat lebih mendukung kepentingan nasional kita.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)